cbox terima kasih untuk tidak menjadi silent reader
wrote
history
wrote my story
|
komentar dong
|
Henny Rachmawati
Twitter: @HennyRach
|
MY FRIENDS and OTHER BLOG MyOLDblog KoyorBlog Alannusa-MyMonki Opojal.com Alam Budaya Sherina Munaf arsitektur indis Web semarang-nederlandsche Komunitas Historia Link Link Link Link Link Link Link Link Link Link Link Link Link Link Link Link Link Link Link Link Link |
|
Minggu, 31 Maret 2013 @ 04.35
Sentiling: Kajian ini kapan ya berakhir? Saya harus lulus tahun ini. #curcol
Setelah saya menampilkan beberapa foto di postingan sebelumnya, postingan kali ini akan menceritakan bagaimana dan kenapa perisiwa Koloniale Tentoonstelling itu diadakan. Bagian yang saya ceritakan ini juga merupakan sepotong bagian bab I kajian yang tak kunjung kelar juga :'( . (Semoga cepet kelar deh) Selamat membaca dan kisah ini adalah sebuah bukti bahwa Semarang pernah dianggap penting di periode-periode kolonial, atau kalau orang Semarang sering bilang "Sangar nda..".
Pada pertengahan tahun 1913, pemerintah Hindia Belanda di Batavia memutuskan untuk membentuk Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid yang bertugas menyelenggarakan peringatan satu abad Kemerdekaan Negeri Belanda1. Berdasarkan perintah dari Den Haag, peringatan seratus tahun ini wajib digelar massal di seluruh negara jajahan dan melibatkan pribumi setempat. Pemerintah Belanda juga mengeluarkan maklumat kepada seluruh masyarakat Hindia Belanda, baik komunitas Belanda, Eurasia dan pribumi, untuk memberi sumbangan fisik dan materi dalam rangka memperingati perayaan ini2.
Menanggapi rencana pemerintah tersebut, Soewardi Soerjaningrat bersama Tjipto Mangoenkoesoemo kemudian membentuk panitia tandingan bernama Komite Boemi Poetra dengan tujuan untuk memperdengarkan aspirasi rakyat yang sebenarnya terhadap peringatan tersebut. Soewardi Soerjaningrat yang saat itu berusia 24 tahun, menulis sebuah essai politik yang sangat kontroversial yaitu Als ik eens Nederlander was (Sekiranya saya seorang Belanda). Tulisan ini mempertahankan pembenaran moral terhadap permintaan Belanda kepada orang-orang di negara jajahannya menyumbangkan uang untuk perayaan peringatan kemerdekaan Belanda. Dalam surat kabar De Express 19 Juli 1913, Soewardi menuliskan sebagai berikut:
Menurut Scherer, Soewardi memposisikan dirinya sebagai seorang Belanda dengan memberikan peringatan kepada rekan-rekannya mengenai bahaya merayakan peringatan kemerdekaan di negeri jajahan mereka. Soewardi menyebutkan, akan terjadi konfrontasi satu lawan satu dalam masyarakat apabila perayaan itu harus dilakukan di negara jajahan. Tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan dibagi-bagikan sebagai selebaran. Melalui selebaran ini, ia berusaha mengerahkan dukungan di tengah-tengah masyarakat Indonesia di luar cendekiawan. Dengan munculnya tulisan Soewardi, pemerintah kolonial menganggap kritik-kritik tersebut sebagai ancaman berat terhadap kemantapan pemerintahan kolonial. Akibatnya, Pemerintah Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman internering kepada Soewardi dan beberapa rekan Boemi Poetra ke Pulau Bangka.
Keadaan Eropa mulai memanas menjelang pecahnya Perang Dunia I. Situasi ini mempengaruhi rencana perayaan kemerdekaan di Hindia Belanda, tetapi jika tidak diteruskan maka tidak akan ada lagi kesempatan untuk merayakan. Memanasnya situasi saat itu dikhawatirkan akan membawa perubahan-perubahan konstelasi dari negara-negara di Eropa . Akhirnya perayaan tetap diselenggarakan meski mengalami penundaan akibat perang dunia pertama. Meskipun begitu, situasi berbeda terjadi di Hindia Belanda tepatnya di Semarang yang terpilih menjadi lokasi perayaan ini.
Semarang saat itu merupakan kota pelabuhan yang penting, karena kota ini dipilih sebagai sarana untuk mengadakan perayaan ini. Kota ini satu-satunya kota di Hindia Belanda yang pernah menyelenggarakan pameran besar berkelas Internasional pada masa itu . Perayaan itu bernama Koloniale Tentoonstelling atau dalam lidah jawa menjadi Pasar Malem Sentiling, sebuah perhelatan terbesar yang pernah diselenggarakan di Hindia Belanda. Perayaan ini masuk dalam salah satu perayaan terbesar yang diselenggarakan pada tahun 1910-1920. Pada tahun 1914, Semarang menjadi sibuk luar biasa untuk persiapan perayaan acara tersebut. Perayaan ini digelar untuk merayakan peringatan 100 tahun pembebasan Belanda dari penjajahan untuk menunjukkan ke dunia luar bahwa mereka mampu menguasai daerah-daerah koloni yang begitu luas dan mampu menata mereka dengan baik. Pembiayaan perayaan ini disponsori oleh Oei Tiong Ham, raja gula kaya raya di Semarang. Pengusaha terkenal ini meminjamkan tanahnya di Pieter Sijthofflaan sebagai salah satu lokasi perayaan, dengan menempati lokasi seluas 26 ha. Bangunan-bangunan yang mewakili beberapa negara didirikan di lokasi ini dan, berbagai hiburan kesenian dan pesta pora pun digelar.
back to top?
Catatan: 1. Peringatan kemerdekaan didasarkan pada kekalahan kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte, melawan negara-negara sekutu Eropa dalam perang di Leipzig pada tahun 1813. Kerajaan Belanda dibawah pimpinan Raja Willem I kemudian dipulihkan kekuasaannya dan diperingati secara besar-besaran pada tanggal 27 November-1 Desember 1913. Pradipto Niwandhono, Yang Ter(di)lupakan dan Benih Nasionalisme Indonesia, ( Yogyakarta: Djaman Baroe, 2002), hlm.
2. Benedict Anderson, Imagined Communities Refelections on Origins
ans Spreads of Nationalism Communities. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 177.
3.Komite Boemi Poetra didirikan pada tahun 1913 dengan
dr. Tjipto sebagai ketuanya, Soewardi sebagai sekretaris dan Abdul Moeis dan
Wignjadisastra sebagai anggota-anggota komite. Komite ini
merencanakan menggunakan perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda untuk memprotes
pemerintah Kolonial Belanda dan Dewan Jajahan yang akan segera dibentuk dalam
kamar kedua di Parlemen Belanda. Komite ini juga mengorganisasikan suatu
pemboikotan terhadap perayaan itu untuk mana Belanda meminta bantuan keuangan
dari rakyat Pribumi yang akan dipergunakan merayakan kemerdekaan Belanda.
Tuntutan lain dari Komite ini adalah kebebasan yang lebih banyak untuk
mengeluarkan pendapat bagi Pribumi. Kutipan dari Savitri Prastiti Scherer, Keselarasan dan Kejanggalan:
Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX . (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2012), hlm. 70.
|